Hari itu Ahad, tepatnya tanggal 22 Februari 2009. Cuaca agak mendung, membuatku kecut. Ke Plethuk saat hujan berarti menyiapkan diri untuk berkubang dengan lumpur. Sepatu belepotan kalau tak segera digantung. Untung prediksiku salah total. Cuaca berangsur membaik, bahkan cenderung panas.
Pagi itu Plethuk diawali dengan upacara latihan gabungan (latgab) pramuka untuk penggalang rakit sekecamatan Sooko ditambah Pudak. Semua peserta upacara berceker ria, karena hujan kemarin sore masih menyisa becek. Lucu. Itulah kesannya. Beberapa kali petugas upacara terhuyung huyung saat maju, oleh lumpur yang tercecer sepanjang jalan dan lapangan.
Di medan yang lain, yaitu di tebing curam, beberapa pecinta alam bergelantungan. Menikmati petualangan. Menantang andrenalin. Panjat tebing begitu meriah. Oleh para pecinta alam dengan potongan rambut gimbal, dan ransel gedhe. Walau tidak semuanya begitu.
Menjelang siang reog dari PGRI Sooko unjuk gigi, menampilkan kebolehannya. Warok, jathil, reog, dkk turun. Riuh. Gempita. Penonton pun membludak. Dan aku ada di bagian itu. Melihat kebudayaan seperti diputar kembali. REOG Ponorogo yang masyhur. Beberapa orang bergerombol dari perdu bebukitan nampak juga menikmati. Dari kejauhan.
Di air terjun sendiri tak kalah menariknya. Putih-putih air berhamburan, mirip salju. Dingin menelisik saat kaki bersentuhan dengan air. Dari dekat mendongak ke atas seketika berasa basah. Karena guyuran air seperti gerimis. Plethuk masih natural. Polesannya masih perlu waktu yang panjang dan tentu membutuhkan dana yang tak sedikit. Dan geliat ke arah sana nyata kelihatan. Beberapa pekerja berkubang di bawah, mengendalikan bulldozer yang menderum. Akan ada perubahan pastinya. Satu yang penting : asal lingkungan tidak menjadi korban. Biarkan alam menyajikan kecantikannya, tak perlu dirusak dengan dalih untuk kebaikan. Semoga.
0 comments:
Posting Komentar