About

Kamis, 16 Oktober 2008

KANVAS

Hari Ahad di sudut gelap kamar. Jendela kaca seakan mengisyaratkan sebuah ketenangan baru : bulan mati, bayangan pohon menjelma hantu. Di luar sana. Bukan di kedalaman batin.

Aku menengok kalender di ponsel, bergumam sendiri :

"Malam 15 yang suram." Gulita membungkus langit. Seperti bentangan kain hitam yang melebar di atas sana. Mungkin ada juga gelap yang menutupi celah hati. Entahlah.

Sepertinya sebentar lagi hujan. Tanda-tanda itu hampir mengemuka, guruh bersahutan, juga udara yang mengoven tubuh. Sampai keringat membau.

Mata letih ini masih menuju kembara jauh, antara tumpukan baju kotor di pojok dan bau. Debu berkarat pada onggokan surat di dekat tempat sampah. Tergeletak manja, bau dari masa lapuk. 15 tahun lalu. Awal-awalku mengenalmu. Wajah seseorang berhasil kulukiskan pada kanvas imaginer, tergambar jelas di tembok putih, sapuannya selembut belaian nina bobok 'Romeo'. Kau berlarian mengejar layang-layang. Kita masih SMP. Aku bersorak dari tepi kali, menyemangati dengan melonjak-lonjak. Tentu saja sesekali kau melambai, dan terus memburu layang-layang. Baju birumu berkibar-kibar. Diserbu angin. Juga rambut gondrongmu. Akhirnya pada perdu yang rimbun, layang-layang itu tersangkut. Berhenti dari berlari. Dan kau kegirangan mengacungkan layang-layang, memamerkan kejayaan. Di ujung senja kita bergandengan tangan, penuh tawa. Tawa remaja yang menemukan bulan. Namun, indah itu tak lama.

"Ada kenangan yang membuat kotak memoriku menyimpan mu. Di relung. Kau masih di sana. Jangan khawatir akan berita konyol itu" katamu di akhir Mei dalam ponsel yang kuingat lamat-lamat. Pada tahun ke-10 kisah kita. Waktu yang membuatku mengenal kedalaman. Tentang kau. Pun kamu. Suaramu kedengaran lain dari biasanya, entah. Aku menafsirkannya sebagai pengakuan dosa. Cerita teman mungkin benar, desisku dalam hati. Bukan dakwaan, hanya insting membisik masjuk. Menggerus kepercayaanku. Leleh. Ya, mirip lilin yang lama-lama amblas. Terangnya tak lama. Sementara nyamuk-nyamuk nakal kubiarkan mengecup keningku, hidungku. Kubiarkan sampai perut merahnya melengkung penuh. Aku tak tega menampar keningku untuk menghabisinya. Udara makin panas. Hujan belum juga ngucur dari langit.

"Sampai kapan?" aku menemukan keraguan dari dimensi "waktu". Waktu pula yang menjebakku dalam gamang. Perselingkuhanmu mungkin bisa kumaafkan, namun bagaimana dengan 'luka'? Beberapa kali berita itu menonjok dadaku. Beberapa pula kulenturkan hati, memaafkan setelah rengekanmu membusa. Tapi ini sudah sekian ke sekian. Ibarat luka, sudah merobek panjang. Perjalanan lama kita tak mulus. Ada terjal sana sini yang berhamburan. Kau beberapa kali mendua, dan juga menyimpan rasa pada seseorang. Orang yang benar-benar lain. Aku seharusnya membunuhmu saja sebelum kau memberi luka. Tapi terlambat. Luka itu kian melebar.

Kau ngakak sebentar. Padahal bukan itu yang kuingin, tawa malah menjebloskan lobang lukaku makin dalam. Dalam. Dan aku menasbihkan secepatnya : kau memang bukan lelaki baik-baik. Kenapa dulu aku tak lekas-lekas membunuhmu saja?

"Sampai malam ini. Ya, hanya malam ini. Aku tak bisa menjanjikan apapun, sayang. Karena rasa siapa pula yang tahu perubahannya. Tapi untuk saat ini jangan ragukan lagi. Ini benar." Kau menjawab dengan suara datar. Tidak disertai hela napas berat, kebiasaanmu bila terpojok. Aku saja sampai tergeragap mendengar bom meletus dari mulutmu. Sebuah "kesepelean" yang tak mungkin kubasuh dari kening, kau setega itu juga ternyata. Seperti dulu-dulu juga akan kasus perselingkuhanmu. Betapa bodohnya aku yang beberapa kali memaafkanmu.

"Ya, sudah." Aku menutup telpon gila itu dengan mencoba merasakan es menjalari jari-jariku dalam bara amarah memuncak. Es memadamkannya. Aku limbung. Tak kuhirau lagi suara tulalit-tulalit. Ponsel sialan.

Aku masih juga kacau sekarang. Melihat tembok-tembok putih seakan menonton layar lukisan imaginer.

Cabikan keras kembali memukul kepalaku, membuatku lemas. Kukira sebelumnya aku begitu tangguh untuk sepotong luka. Tapi nyatanya kanvas itu menari-nari terus menayangkan lobang luka. Aku takut jatuh di sana, dan tak kuasa menetralisirnya dengan cepat. Seperti hari ini yang masih memikirkanmu. Juga bayi mu yang kubunuh di dukun beranak di malam kau minggat ke entah berantah.

Mengenai Kecewa dan Senyum Matahari

Di usia abad abad lelehan serat panjang, matahari masih saja selembut itu. Aku juga rasakan dengan kebingungan, "angin menderu badai juga, ombak ngamuk rumah, pun tanah nganga lobang gempa tektonik." Tapi matahari masih saja ramah pada daun, manusia rakus, bibir gunung.

Aku tak dapat membayangkan kekecewaan matahari dalam leleh paling panasnya, di perkasanya menekan amarah.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls