Hari Ahad di sudut gelap kamar. Jendela kaca seakan mengisyaratkan sebuah ketenangan baru : bulan mati, bayangan pohon menjelma hantu. Di luar sana. Bukan di kedalaman batin.Aku menengok kalender di ponsel, bergumam sendiri :"Malam 15 yang suram." Gulita membungkus langit. Seperti bentangan kain hitam yang melebar di atas sana. Mungkin ada juga gelap yang menutupi celah hati. Entahlah. Sepertinya sebentar lagi hujan. Tanda-tanda itu hampir mengemuka, guruh bersahutan, juga udara yang mengoven tubuh. Sampai keringat membau. Mata letih ini masih menuju kembara jauh, antara tumpukan baju kotor di pojok dan bau. Debu berkarat pada onggokan surat di dekat tempat sampah. Tergeletak manja, bau dari masa lapuk. 15 tahun lalu. Awal-awalku mengenalmu. Wajah seseorang berhasil kulukiskan pada kanvas...
Kamis, 16 Oktober 2008
Mengenai Kecewa dan Senyum Matahari
Di usia abad abad lelehan serat panjang, matahari masih saja selembut itu. Aku juga rasakan dengan kebingungan, "angin menderu badai juga, ombak ngamuk rumah, pun tanah nganga lobang gempa tektonik." Tapi matahari masih saja ramah pada daun, manusia rakus, bibir gunung.Aku tak dapat membayangkan kekecewaan matahari dalam leleh paling panasnya, di perkasanya menekan amar...