About

Senin, 23 Februari 2009

Plethuk Sooko





Hari itu Ahad, tepatnya tanggal 22 Februari 2009. Cuaca agak mendung, membuatku kecut. Ke Plethuk saat hujan berarti menyiapkan diri untuk berkubang dengan lumpur. Sepatu belepotan kalau tak segera digantung. Untung prediksiku salah total. Cuaca berangsur membaik, bahkan cenderung panas.

Pagi itu Plethuk diawali dengan upacara latihan gabungan (latgab) pramuka untuk penggalang rakit sekecamatan Sooko ditambah Pudak. Semua peserta upacara berceker ria, karena hujan kemarin sore masih menyisa becek. Lucu. Itulah kesannya. Beberapa kali petugas upacara terhuyung huyung saat maju, oleh lumpur yang tercecer sepanjang jalan dan lapangan.

Di medan yang lain, yaitu di tebing curam, beberapa pecinta alam bergelantungan. Menikmati petualangan. Menantang andrenalin. Panjat tebing begitu meriah. Oleh para pecinta alam dengan potongan rambut gimbal, dan ransel gedhe. Walau tidak semuanya begitu.

Menjelang siang reog dari PGRI Sooko unjuk gigi, menampilkan kebolehannya. Warok, jathil, reog, dkk turun. Riuh. Gempita. Penonton pun membludak. Dan aku ada di bagian itu. Melihat kebudayaan seperti diputar kembali. REOG Ponorogo yang masyhur. Beberapa orang bergerombol dari perdu bebukitan nampak juga menikmati. Dari kejauhan.

Di air terjun sendiri tak kalah menariknya. Putih-putih air berhamburan, mirip salju. Dingin menelisik saat kaki bersentuhan dengan air. Dari dekat mendongak ke atas seketika berasa basah. Karena guyuran air seperti gerimis. Plethuk masih natural. Polesannya masih perlu waktu yang panjang dan tentu membutuhkan dana yang tak sedikit. Dan geliat ke arah sana nyata kelihatan. Beberapa pekerja berkubang di bawah, mengendalikan bulldozer yang menderum. Akan ada perubahan pastinya. Satu yang penting : asal lingkungan tidak menjadi korban. Biarkan alam menyajikan kecantikannya, tak perlu dirusak dengan dalih untuk kebaikan. Semoga.

Sabtu, 21 Februari 2009

Spirit Never DIE

Ketika tekad memberangus di dada, maka tak ada lagi yang mengalahkan. Semua aral menjadi sebuah "batu kecil" yang melintas di jalan aspal. Kelihatan kerdil. Dan memang membiarkan kita melesat ke tanjakan selanjutnya. Tekad itu spirit. Spirit yang tak kan pernah mati.

Seorang kawan, namanya Sastro ( bukan sebenarnya ). Ia kawanku kuliah di Unmuh Ponorogo. Berbekal satu kata "nekad", ia melalui terjal-terjal kesehariannya di rumah kakek tua. Nderek. Kakek tua yang bawel, dan penuh peraturan. Yang ditinggal anak-anaknya oleh karena keadaan mengharuskan demikian. Pekerjaan kadang membelenggu seseorang untuk melanglang jauh. Meninggalkan kampung halaman, melepas orang tua yang sendirian. Kesepian. Dan Sastro lah yang menemani keseharian kakek itu. Sampai ajal menjemput, demikian perjanjian anak-anaknya dengan Sastro. Tentu dengan imbalan yang pantas: Sastro bisa kuliah dengan keterbatasan dana. Nekad mengantarnya ke jenjang lebih tinggi, seperti juga impiannya yang tak pernah berhenti.

Ini kawanku sekelas yang berbeda lagi, sebut saja Miko. Tentu bukan aslinya. Ia aktif dalam organisasi. Nyambi kerja dengan ngeles anak-anak SD. Semua waktunya padat, namun tetap saja biaya kuliah membelitnya di akhir semester awal. Waktu itu rame-ramenya ngambil IP,dan ia begitu menderitanya hanya jadi penonton, karena administrasi menghalanginya untuk menikmati hasil ujiannya. Belum lunas berarti menyiapkan diri jadi buronan. Seperti dikejar-kejar sesuatu. Dan nyatanya memang tanggungan mengganggu tidur nyenyaknya. Ia juga tak berhenti sebenarnya, beberapa hari mengorbankan tubuhnya dengan lembur di sana sini. Masalah belum selesai. Biaya terlalu banyak. Padahal teman yang lain sudah sibuk pemrograman semester dua. Namun tekadnya tak kerdil. Di sore yang basah, ia mengirim SMS kepadaku: "motorku ilang". Dan aku dengan pendek menjawab: "Ga apa-apa. Yang penting jalan terus." Ia menjual motornya, yang biasa mengawalnya berpetualang. Ia mengorbankan sesuatu yang benar. Pendidikan mahal, untuk siapapun yang merasa tak mampu. Namun ketakmampuan pun bisa dipadamnkan dengan satu tekad yang tidak cemen. Spirit.

Ketangguhan seseorang melawan keapaadanyaan. Pada akhirnya endingnya ada 2 : happy or sad. Tentu semua orang kepingin happy ending, seperti film India itu. Spirit. Tekad akan merubah krisis menjadi solusi. Semoga.

Kamis, 19 Februari 2009

MONA

"Kau harus banting setir!" Paksa Mona dulu saat kebersamaan begitu lekatnya. Elok.

"Tapi aku sudah memilih, Mon. Sesuatunya sudah kuendapkan dalam pikiran. Ayolah...ini tak sepelik yang kau angankan. Kita masih bisa berlama-lama merenda persahabatan, tanpa merasa terganggu dengan keberadaan Mas Yusro. Berpikirlah sederhana saja. Ada pertimbangan lain yang membuatku dan orang tuaku mengambil langkah itu." Aku merengeknya untuk tak mempermasalahkan kedekatanku dengan Mas Yusro. Bahwa kesiapan perkawinan tak mesti dipandang dari materi. Ada hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan. Bukan melulu harta, apalagi pangkat jabatan. Dan itulah yang memicu perdebatan panjangku dengan Mona, sahabat terdekatku semenjak SD, juga TK. Serta tetangga yang terbaik.

"Jadi kau lebih mempercayainya yang baru satu bulan kau kenal dari pada aku, yang 20 tahun lebih lama. Begitu?" Kau menderu, memandang keluar lewat jendela yang terbuka. Bau hujan menguap, kau menghirupnya berat.

"Memang Mas Yusro tak seideal harapanku, Mon. Kuakui itu. Ia bukan seorang karyawan bank, apalagi pengusaha sukses. Ia hanya guru agama di desa Sebrang, yang nota bene masih jauh dari modernisasi. Belum ada listrik. Dan itulah tantangannya, Mon."

"Sudahlah, kau memang pengecut. Bilang saja kau tak berani menolak perjodohan orang tuamu yang kolot, sok pinter itu. Aku tahu kabar itu, Sis." Dia membanting jendela keras. Suara debam menggeletar di antara derai hujan. Hujan masih awet saja dari tadi siang. Dia beranjak. Mengepal tinju. Menderam.

"Aku akan bilang pada orang tuamu kalau sama sekali tak menghendaki perjodohan konyol itu." Dan Mona sudah berlari meloncat jendela, menembus hujan. Hujan? Bukankah ia benci rambut lembab?

Aku menyusulnya tak lama kemudian. Meninggalkan rumah joglo Mona yang sepi. Aku berjalan pelan, menikmati hujan. Hujan menyileti tubuh. Dan aku suka hujan.Suka sekali.

Aku baru menjejakkan kaki di halaman, saat suara keras bersahutan dari dalam. Rumahku. Itu suara yang tak asing.

Dasar tak tahu malu! Keluar bangsat!" Teriakan bapak membahana. Disusul tamparan keras melayang. Plak..! Mona terhuyung sebelum akhirnya terjatuh ke keramik hijau. Seketika kupeluk dia dengan permintaan maaf meluncur deras. Ini tak terhindarkan. Sudah berulang kali kubilang jangan sentuh bapak.

"Jangan dimasukkan di hati, Mon. Kau tahu sendiri gimana kerasnya bapak."

Ia malah membantingku. Pada saat berikutnya ia sudah menerjang gerimis. Lembab rambutnya makin membasah. Kuyup. Kabut sesegera mungkin menelan tubuhnya dalam remang. Lantas hilang sama sekali.

Semenjak itu segalanya berubah. Mona sering sewot. Melempar kecut. Sedang aku ngalah, mendiam saja. Tak ada artinya saling bersitegang dengan karib, apalagi untuk masalah yang bersifat prinsip. Aku sudah menemu "Romeo" dengan benar, walau campur tangan bapakku begitu besar. Aku tak lantas menamanyakannya perjodohan Siti Nurbaya. Aku menyukainya, dan ini tak bisa kuhentikan. Sekali lagi aku tak kan bergeming.

Aku tak lagi temukan Mona yang menemani begadang, merenda masa-masa intrik yang sulit. Dia dulu yang menyediakan pundaknya, menampung air mata saat ibuku meninggal. Digerogoti kanker payudara. Mona lah orang yang mengajariku menanak nasi di awal kepergian ibu. Dan ingatan itu meluber, menjejali kepalaku. Sekarang lain. Ia berubah. Ia asing. Melenggang di depanku tanpa menyapa. Sekarang dia seolah orang lain. Begitu juga aku.

Di prosesi pernikahanku dengan Mas Yusro, aku tak menemukan Mona. Wajah tomboy itu raib. Padahal aku ingin ia menyaksikan buncah bahagia ini. Diam-diam kulihat calon suamiku. Wajah yang biasa. Telapak tangannya kasar saat tanganku bertangkup dalam genggaman. Tak kuingat lagi 10 tahun usia perbedaan. Semua hilang penghalang. Hilang keraguan.

Suara gendhing Jawa mendayu. Suara kemayu. Orang-orang menyalamiku dan Mas Yusro. Wajah-wajah desa yang tulus. Sesekali beberapa tangan menyumpal amplop kecil. Pesangon. Seorang teman lama membisikku,

" Mona di luar. Menggandeng wanita lacur. Mesra sekali, Sis." Aku terjenak, mencari kebenaran dengan melongok sosok Mona, namun tak bisa. Hiruk pikuk ini menelan siapa saja. Di dalam dan luar sama riuhnya. Sekali lagi kulihat mata Mas Yusro, melihat kolam hatinya yang teduh. Ia tersenyum. Tulus. Ia merangkulku yang tak bisa mengurai tangis.

"Aku sudah tahu. Jangan bersedih. Seseorang menjalani kodratnya dengan benar. Aku pernah mengenalnya. Dan dia masih saja sama. Dia memang yang tak kau sangka." Bisik Mas Yusro makin menambah tangisanku. Meluber antara sedih dan bersyukur. Di sekali kilatan mataku yang basah, tak sengaja tertohok sosok Mona menggelayut dengan wanita. Wajahnya bahagia. Seperti menemukan bulan purnama.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls