Ini lapangan kita ya? Jangan dilepaskan pada domba. Kita jaga tentang rumput juga dua gawang dari bambu tua. Kita jaga sampai terluka.
Selasa, 16 Desember 2008
Hijau
Ini lapangan kita ya? Jangan dilepaskan pada domba. Kita jaga tentang rumput juga dua gawang dari bambu tua. Kita jaga sampai terluka.
Manusia Masa kini
Aaah…ini penyejuk otak, untuk refresh kepenatan” dalih sebagian orang tentang godaan. Lantas siapa yang perlu peduli tentang keberadaan acakadul bumi”?
biarlah para ilmuwan menemu anti virus para manusia penuh luka, entah di lutut, pusarnya. Kita lihat ke depan, akan ke mana dunia ini dihantarkan. Apa perlu kita merunut asal muasal kita menurut Darwin. Iiih…kita dari monyet??
Masalah
Mengertilah
Tentang jiwa jiwa meronta oleh jerat kemiskinan, mengertilah.
Kami hanya bisa menghiba teriak ” Kami orang bawah yang menggelinjang hebat, perut kosong kami menyeret hampir ke kekafiran. Sekantong beras seolah emas di mata kami. Adakah yang mengerti welas mata kami, yang sudah hampir tak berair, kami meminumnya untuk anak anak penuh panu di punggung. Mengertilah bila kebodohan mencekik otak, jangan menambah dengan hitungan pajak tinggi, sembako melonjak.”
Kami orang bawah yang senantiasa menyeret kemiskinan di bayang bayang, mengikutnya layak kekasih.
Jatuh Bangun Cinta
Sedang bangun itu bangkit, berdiri untuk bersikap mengokohkan. Semisal bangunan ia makin kuat oleh fondasi dan batu bata yg tersusun rapi, menjelma rumah yg penuh keceriaan. Bangun itu mungkin juga mendaki ke impian seperti bayi yg belajar berjalan dng tatihan, anak muda yg memetik buah bintang, nenek yg mempertahankan tongkatnya.
Jatuh cinta atau bangun cinta? Entah pilihan yang menusuk otakku beberapa kali. Letih sudah terjatuh pd cinta konyol penuh bullshit, masa intrik remaja yg terlewati. Dan pilihan yg berteriak di dasar kedewasaan masih labil adalah membangun cinta. Bukan hanya sekedar permainan ombak rasa yg bergulung gulung hendak menelan mangsa.
Pagi Manja
Bukan hari yang lain, sudah biasa merasa embun di ubun ubun, pun dingin merajuk mesra.
Bukan sia sia yang mengalir di comberan penuh tak warna, ini hari kita : kita taklukkan.
Seberapa tangguh dada menerima masalah, seperkasa apa mata menantang was was.
Rasaku Hari Ini
Menerka jawaban tak menemu kepastian, pada akhirnya menjejal kepala dengan negatif thinking. Korneaku capek, pengen jeda detik menit. Dan mereka yang menanti pun pergi, aku tak peduli. Karena rasaku hari ini beda. Mungkin esok harus ada yang mengantar seikat senyuman untuk menawar bad mood ku hari ini.
(Esoknya mereka ngantar 17 ikat melati, plus 17 pasang kornea penuh air mata)
"Kenapa mengirimku ke makam pagi pagi?"
Satu yang Seratus
Senin, 15 Desember 2008
Bad Mood
Minggu, 14 Desember 2008
Seorang Sahabat
Seorang sahabat dengan senyum simpulnya menawarkan nyanyian penggugah semangat kala air mata kesenduan menghujan deras. Bukan oleh apapun, tapi rengkuhan semangat menggelora memang kadang perlu ditularkan pada orang yang lagi bad mood. Mereka sadar akan ketakstabilan emosi, dan dengan iringan musik bersahaja tapi penuh motivasi akan mengguncang jiwa agar bangkit dan mengembang senyum betapapun terpaksanya kita.
Hargailah sahabat oleh caranya membuatmu tertawa sepanjang hari pun menemani sesak napasmu...
Kamis, 16 Oktober 2008
KANVAS
Aku menengok kalender di ponsel, bergumam sendiri :
"Malam 15 yang suram." Gulita membungkus langit. Seperti bentangan kain hitam yang melebar di atas sana. Mungkin ada juga gelap yang menutupi celah hati. Entahlah.
Sepertinya sebentar lagi hujan. Tanda-tanda itu hampir mengemuka, guruh bersahutan, juga udara yang mengoven tubuh. Sampai keringat membau.
Mata letih ini masih menuju kembara jauh, antara tumpukan baju kotor di pojok dan bau. Debu berkarat pada onggokan surat di dekat tempat sampah. Tergeletak manja, bau dari masa lapuk. 15 tahun lalu. Awal-awalku mengenalmu. Wajah seseorang berhasil kulukiskan pada kanvas imaginer, tergambar jelas di tembok putih, sapuannya selembut belaian nina bobok 'Romeo'. Kau berlarian mengejar layang-layang. Kita masih SMP. Aku bersorak dari tepi kali, menyemangati dengan melonjak-lonjak. Tentu saja sesekali kau melambai, dan terus memburu layang-layang. Baju birumu berkibar-kibar. Diserbu angin. Juga rambut gondrongmu. Akhirnya pada perdu yang rimbun, layang-layang itu tersangkut. Berhenti dari berlari. Dan kau kegirangan mengacungkan layang-layang, memamerkan kejayaan. Di ujung senja kita bergandengan tangan, penuh tawa. Tawa remaja yang menemukan bulan. Namun, indah itu tak lama.
"Ada kenangan yang membuat kotak memoriku menyimpan mu. Di relung. Kau masih di sana. Jangan khawatir akan berita konyol itu" katamu di akhir Mei dalam ponsel yang kuingat lamat-lamat. Pada tahun ke-10 kisah kita. Waktu yang membuatku mengenal kedalaman. Tentang kau. Pun kamu. Suaramu kedengaran lain dari biasanya, entah. Aku menafsirkannya sebagai pengakuan dosa. Cerita teman mungkin benar, desisku dalam hati. Bukan dakwaan, hanya insting membisik masjuk. Menggerus kepercayaanku. Leleh. Ya, mirip lilin yang lama-lama amblas. Terangnya tak lama. Sementara nyamuk-nyamuk nakal kubiarkan mengecup keningku, hidungku. Kubiarkan sampai perut merahnya melengkung penuh. Aku tak tega menampar keningku untuk menghabisinya. Udara makin panas. Hujan belum juga ngucur dari langit.
"Sampai kapan?" aku menemukan keraguan dari dimensi "waktu". Waktu pula yang menjebakku dalam gamang. Perselingkuhanmu mungkin bisa kumaafkan, namun bagaimana dengan 'luka'? Beberapa kali berita itu menonjok dadaku. Beberapa pula kulenturkan hati, memaafkan setelah rengekanmu membusa. Tapi ini sudah sekian ke sekian. Ibarat luka, sudah merobek panjang. Perjalanan lama kita tak mulus. Ada terjal sana sini yang berhamburan. Kau beberapa kali mendua, dan juga menyimpan rasa pada seseorang. Orang yang benar-benar lain. Aku seharusnya membunuhmu saja sebelum kau memberi luka. Tapi terlambat. Luka itu kian melebar.
Kau ngakak sebentar. Padahal bukan itu yang kuingin, tawa malah menjebloskan lobang lukaku makin dalam. Dalam. Dan aku menasbihkan secepatnya : kau memang bukan lelaki baik-baik. Kenapa dulu aku tak lekas-lekas membunuhmu saja?
"Sampai malam ini. Ya, hanya malam ini. Aku tak bisa menjanjikan apapun, sayang. Karena rasa siapa pula yang tahu perubahannya. Tapi untuk saat ini jangan ragukan lagi. Ini benar." Kau menjawab dengan suara datar. Tidak disertai hela napas berat, kebiasaanmu bila terpojok. Aku saja sampai tergeragap mendengar bom meletus dari mulutmu. Sebuah "kesepelean" yang tak mungkin kubasuh dari kening, kau setega itu juga ternyata. Seperti dulu-dulu juga akan kasus perselingkuhanmu. Betapa bodohnya aku yang beberapa kali memaafkanmu.
"Ya, sudah." Aku menutup telpon gila itu dengan mencoba merasakan es menjalari jari-jariku dalam bara amarah memuncak. Es memadamkannya. Aku limbung. Tak kuhirau lagi suara tulalit-tulalit. Ponsel sialan.
Aku masih juga kacau sekarang. Melihat tembok-tembok putih seakan menonton layar lukisan imaginer.
Cabikan keras kembali memukul kepalaku, membuatku lemas. Kukira sebelumnya aku begitu tangguh untuk sepotong luka. Tapi nyatanya kanvas itu menari-nari terus menayangkan lobang luka. Aku takut jatuh di sana, dan tak kuasa menetralisirnya dengan cepat. Seperti hari ini yang masih memikirkanmu. Juga bayi mu yang kubunuh di dukun beranak di malam kau minggat ke entah berantah.
Mengenai Kecewa dan Senyum Matahari
Aku tak dapat membayangkan kekecewaan matahari dalam leleh paling panasnya, di perkasanya menekan amarah.